Andai Aku Tak Pernah Mengenalmu
Rasa rindu seringkali menyerang, mengganggu konsentrasiku. Terkadang aku ingin menghubungimu namun selalu saja kuurungkan niat itu. Semakin kusimpan rasa ini dalam dadaku, semakin sesak terasa. Entah dimana kau sekarang berada, aku hanya mampu menyentuhmu dengan hatiku.
Saat itu, saat yang begitu indah bagiku. Aku mengenal seorang pria yang membuatku merasakan cinta yang begitu indah, cinta yang menghiasi siang dan malamku. Cinta yang membuatku mabuk kepayang. Cinta yang begitu sulit ku lukiskan. Saat itu, dia laksana pangeran hati yang tercipta untukku. Seorang pangeran yang kan menemani hidupku bak cerita dongeng. Pangeran yang telah meluluhkan hatiku.
Cerita ini berawal ketika dua tahun yang lalu ada seseorang yang nyasar telepon ke rumahku. Setelah telepon nyasar itu, si cowok, yang akhirnya aku tahu namanya Joni, makin sering telepon ke rumah dan ngobrol berlama-lama denganku. Tadinya aku malas menanggapinya, tapi karena dia sering telepon akhirnya aku merasa asyik juga punya teman chatting. Setelah satu bulan sejak hari itu aku mengajaknya bertemu. Lagi-lagi dia menolak karena alasan kerja. Dan lagi-lagi aku sangat penasaran. ”Kenapa sih cowok satu ini susah sekali diajak ketemu,” pikirku.
Karena seringnya kami chatting, tidak hanya lewat telepon kami juga sering chatting lewat internet, akhirnya aku merasa nyaman kalau ngobrol dengannya. Meskipun seringkali aku bersungut-sungut karena dia selalu menolak bertemu, tak mengapa lah. Tak terasa satu tahun telah berlalu. Akhirnya Joni mengatakan sesuatu di telepon yang membuatku sedikit kaget. ”Siwi sayang, boleh tidak mengatakan sesuatu? Tapi mungkin ini membuatmu marah. Aku siap apa pun sikapmu padaku,” katanya. ”Ada apa sih Jon, pake ngomong sayang segala, ujung-ujungnya gak enak,” jawabku seenaknya. ”Gini Wi, aku kan pernah bilang sama kamu kalau aku kerja di perusahaan advertising sebagai manajer. Sebenarnya aku bohong sama kamu. Sebenarnya aku kerja di perusahaan itu sebagai tenaga pemasaran. Aku malu mengakui posisiku di perusahaan itu,” akunya. Terus terang aku sedikit kaget, ”Kenapa kamu bohong sama aku?” tanyaku. ”Ya aku pikir kamu suka aku karena posisiku di perusahaan itu, Wi,” jawabnya perlahan. ”Jon, aku tuh suka kamu karena kepribadian kamu. Aku suka dan nyaman ngobrol denganmu karena kamu bisa ngerti aku, bukan karena posisimu di tempat kerja,” jawabku. ”Jadi, kamu gak marah karena aku sudah bohong?” tanyanya lagi. ”Aku maafkan, tapi besok jangan diulang lagi ya,” jawabku. ”Thanks ya Wi, aku janji gak akan bohong lagi. Ehm….ngomong-ngomong sore ini kamu ada waktu ga?” tanyanya yang membuatku penasaran. ”Ada, aku gak kemana-mana. Memang kenapa?” tanyaku. ”Aku pengen ketemu,” katanya. Jantungku langsung dag-dig-dug tak karuan. Baru kali ini dia ingin ketemu, padahal sebelumnya tiap kali aku ajak ketemu, pasti ada 1001 alasan untuk menolak.
Akhirnya aku setuju bertemu dengannya. Dia menjemputku, dan ketika melihatnya pikirku ”oh…dia tak seganteng apa yang kupikir selama ini.” Tapi dia sudah mencuri hatiku, aku sayang padanya. Kami naik mobil Charade dan meluncur menuju McDonalds. Selama perjalanan, jantungku berdegup kencang. Dia pun sering terlihat gugup. Namanya juga akrab di telepon tapi baru kali ini lihat orangnya, ya begitulah jadinya. Nervous.
Tiba-tiba dia mengajakku ke suatu tempat yang sepi. Masih di dalam mobil, dia pegang tanganku. Badanku rasanya panas dingin, jantungku berdegup lebih kencang. ”Wi, maafin aku yang pernah bohong padamu. Mau gak maafin aku,” tanya Joni sambil meremas jari-jari tanganku. Aku berusaha kontrol diri, ”ya ya aku maafin. Udah gak usah diomongin lagi ya, besok jangan diulangi, oke?” kataku gugup.
”Wi, lihat mataku,” katanya lagi. Dengan malu aku menatap matanya. ”Mau gak kamu jadi pacarku?” tanyanya. ”Aku???” aku kaget setengah mati. Memang ini yang pernah aku impikan, tapi ketika dia tanya kenapa aku jadi kaget begini? Lama tiada jawaban dari mulutku. Bukannya aku menolak, tapi bingung menyampaikan perasaanku yang senang luar biasa. ”Hei…mau gak?” tanyanya lagi tak sabar menunggu jawabanku. ”Iya,” jawabku pendek. ”Duh senengnya. Udah lama aku pengen ketemu kamu Wi, tapi aku tak punya keberanian seperti saat ini sebelumnya. Aku selalu gak pede berhadapan denganmu,” katanya. Emangnya kenapa, pikirku. Ah pokoknya sekarang aku pacaran dengan Joni. Tiba-tiba sebuah kecupan di pipiku membuyarkan lamunanku. Ya jelas aku kaget, eh si Joni malah senyum-senyum. Dasaaar…. Aku cubit dia sekencang-kencangnya dan dia teriak.
Enam bulan berpacaran, aku merasa asyik-asyik saja. Joni sering ajak aku ke luar, shopping, atau nonton. Suatu hari, dia memperkenalkan aku dengan sahabatnya, Nano. Sebenarnya Nano lebih ganteng dibandingkan Joni, tapi tetap saja hatiku sudah sayang Joni. Dan sejak itu, Joni sering mengajakku ke rumah Nano meski hanya mampir. Aku merasa tidak nyaman dan risih tapi bagaimana lagi, aku berusaha mengikuti keinginan Joni saja.
Suatu sore Nano ke rumahku. Katanya ada sesuatu yang penting yang harus dia ceritakan padaku. “Wi, Joni mungkin cintamu tapi kau harus tahu siapa dia sebenarnya. Aku kasihan padamu jika sampai saat ini kau belum tahu siapa dia,” kata Nano. “No, sepertinya ini serius sekali. Memangnya ada apa?” tanyaku sangat penasaran. “Wi, selama ini Joni telah menipumu. Aku tahu kau sangat mencintainya, sangat memujanya, tapi….” Nano terlihat ragu untuk meneruskan kata-katanya. “Ayo katakan, ada apa?” kataku tak sabar. “Sebelum mengenalmu, Joni pernah berpacaran dengan seorang gadis teman kuliahnya. Joni sangat mencintainya dan akhirnya suatu peristiwa terjadi. Suatu hari gadis itu datang ke rumah Joni dan meminta pertanggungjawabannya karena dia hamil,” cerita Nano. “Apa?!!!” teriakku tak percaya, “lalu apa yang terjadi No, ayo ceritakan padaku.” Aku hampir lunglai tak berdaya mendengar cerita Nano tapi aku harus mengetahui semuanya. “Orang tua Joni terpaksa menikahkan Joni dengan gadis itu karena gadis itu telah hamil 5 bulan.” “Haah!!!!” pekikku tak percaya. “Maafkan aku Wi karena harus menceritakan ini padamu,” kata Nano sambil tertunduk. “Lalu…apakah Joni sekarang ini masih berstatus suami seseorang? Aku tak mau dituduh merebut suami orang No,” kataku gemetar sambil berlinang air mata. Aku tak tahu bagaimana perasaanku. “Ya, dia masih milik orang lain. Joni sudah memiliki 2 orang anak Wi. Usia mereka sekarang 3 tahun dan 1 tahun,” kata Nano lirih.
Bagai tersambar petir aku mendengar cerita itu. Seperti mimpi rasanya. Dia yang selama ini mengisi hari-hariku dengan cinta dan keceriaan ternyata hanyalah seorang bajingan. Aku mengutuknya tiada henti, tak berdaya lagi aku berkata-kata. Rasa marah tak mampu lagi ku tahan, sesal pun menyeruak dalam hatiku. Kenapa dia tega berbuat itu padaku, kenapa??? Yang Joni tawarkan padaku hanyalah mimpi kosong, mimpi yang tak mungkin kuraih. Kenapa begitu tega dia melakukannya padaku?
Sejak hari itu aku malas bertemu Joni. Meski Joni sering telepon atau datang ke rumahku, aku malas untuk menemuinya. Rasa marah benar-benar mengisi seluruh ruang hatiku, rasanya tiada maaf lagi untuknya. Dia keterlaluan, dia memanfaatkan aku. Dia datang padaku kalau dia dan istrinya sedang ada masalah, dan dia akan menghilang saat dia tak ada masalah. Aku marah dan mengutuknya dalam hati.
Dua minggu setelah Nano menceritakan padaku siapa Joni sebenarnya, aku minta putus. Joni bingung mengapa tiba-tiba aku minta putus. Aku katakan bahwa aku sudah capek dibohongi terus-menerus dan akhirnya aku katakan aku sudah tahu siapa dia sebenarnya. Joni hanya menunduk, tak mampu berkata lagi. Kuseka air mata yang membasahi pipiku, dan aku katakan, ”Jon, meski aku cinta kamu, meski aku sayang padamu, aku tak mampu memaafkan perbuatanmu itu. Aku tak ingin bertemu denganmu lagi. Jalani saja pernikahanmu, aku tak mau jadi orang ketiga.” Sejak hari itu, aku tak mau menerima teleponnya, kedatangannya, atau apa pun yang berhubungan dengannya. Meski pedih, aku berusaha menghapus namanya dari hatiku….. Andai saja aku tak pernah mengenalmu, mungkin hatiku tak kan terluka seperti ini Jon…