Peranan Agama Buddha Dalam Keluarga Part III
Berganti Agama Karena Perkawinan
Banyak umat Buddhis beralih agama karena mendapatkan pasangan hidup yang beragama lain, dan umumnya dalam agama lain dinyatakan bahwa kedua pasangan yang akan menikah haruslah menganut agama yang sama, karena jika tidak maka rohaniwan agama tersebut tidak dapat memberikan pemberkatan atau mengawinkan kedua mempelai.
Akibatnya, karena takut tidak bisa menikah dengan pujaan hatinya, maka semua persyaratan apapun akan disetujuinya, termasuk beralih agama. Ironisnya, hingga kini lebih banyak umat Buddhis yang beralih agama bila dibandingkan dengan umat agama lain yang beralih menjadi umat Buddhis.
Selain hal yang
telah diuraikan di atas, ada hal lain yang ikut menyebabkan terjadinya
beralihnya agama seseorang, yaitu pengertian yang salah tentang sikap
toleransi beragama yang sangat terkenal dalam agama Buddha.
Seorang
pemeluk agama Buddha yang mendapatkan calon pasangan hidup dari agama
lain, biasanya mempunyai sikap toleransi beragama yang cukup tinggi,
yaitu ia dapat menerima cara-cara beribadah calon pasangan hidupnya, ia
mula-mula mau mengantarkan pasangannya untuk pergi ke tempat-tempat
ibadah agama lain, tahap selanjutnya ia juga bersedia untuk mengikuti
kebaktiannya.
Semuanya itu dilakukan dengan pengertian bahwa sebagai umat Buddhis yang terkenal dengan sikap toleransinya yang tinggi, maka mengantarkan dan ikut kebaktian bersama pasangannya adalah hal yang biasa-biasa saja.
Namun ia lupa bahwa keyakinan dan
pengetahuan dirinya tentang agama Buddha mungkin belumlah banyak,
sehingga jika suatu kali bertemu dengan rohaniwan atau aktivis agama
lain dan ia
mendapatkan berbagai pertanyaan tentang agama Buddha
namun tidak bisa menjawabnya, maka keyakinannya akan goyah sehingga
akhirnya dapat terjadi orang itu beralih agama.
Disamping itu,
sebelum dilaksanakan pemberkatan pernikahan, biasanya pasangan dari
pihak agama lain diminta untuk berjanji bahwa anak-anak mereka kelak
akan dididik dengan agama lain
tersebut. Sehingga pada saat pasangan
itu mendapatkan bayi, maka mereka sudah harus melakukan upacara secara
agama lain, misalnya upacara pembaptisan bayi.
Sejak jaman Sang
Buddha, hal beralihnya agama seseorang banyak kita jumpai. Namun kasus
yang umumnya terjadi adalah beralihnya pemeluk agama lain menjadi umat
Buddhis atau bahkan menjadi bhikkhu atau bhikkhuni.
Contoh yang paling populer adalah tentang Visakha yang merupakan siswa Sang Buddha yang sangat taat dan
kebetulan ia menikah dengan keluarga yang bukan Buddhis. Namun karena
sikapnya yang baik dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, akhirnya
berhasil menggugah keyakinan mertua dan suaminya, sehingga mereka
menyadari bahwa ajaran-ajaran Sang Buddha adalah yang paling benar dan
mereka dengan senang hati menjadi umat Buddhis.
Oleh karena itu, sebelum seseorang memutuskan untuk menikah dengan pujaan hatinya yang berbeda agama, maka sebaiknya orang tersebut mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh tentang perbedaan agama tersebut agar tidak menimbulkan suatu masalah di kemudian hari.
Di dalam agama Buddha, sepasang suami-istri bisa memperoleh
suatu perkawinan yang langgeng dam bahagia asalkan mereka mau menuruti wejangan Sang Buddha sebagai berikut :
”Apabila sepasang suami-isteri ingin selalu bersama-sama dalam
kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang akan datang, maka ada empat
hal yang harus diperhatikan, yaitu keduanya harus :
~ Setara dalam keyakinan (Samma Saddha),
~ Setara dalam Sila (Samma Sila),
~ Setara dalam kemurahan hati (Samma Caga), dan
~ Setara dalam kebijaksanaan (Samma Panna). "
(Anguttara Nikaya II, 62)
Bahkan lebih lanjut Sang Buddha juga mengatakan bahwa sepasang
suami—isteri akan dapat memperoleh kebahagiaan apabila mereka hidup
sesuai dengan Dhamma, dan agar dapat hidup sesuai dengan Dhamma maka
mereka haruslah memiliki keempat hal yang setara seperti tersebut di
atas. Untuk lebih jelasnya dapat kita simak kata-kata Sang Buddha
sebagai berikut :
"Apabila sepasang suami-isteri,
Penuh dengan pengendalian diri,
Selalu berbicara dengan ramah,
Hidup sesuai dengan ajaran Buddha,
Hanya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan,
Akan memperoleh berkah hidup damai.
Kesedihan adalah musuh mereka,
Pertengkaran adalah lawan mereka,
Selalu rukun dan bahagia.
Apabila hidup sesuai dengan Dhamma,
Maka mereka akan berbahagia,
Seperti di alam dewa—dewi,
Sesuai dengan yang mereka harapkan. "
(Anguttara Nikaya II, 61)
Bahkan menurut Bhikkhu YM Acariya Maha Boowa Nanasampanno:
"Rumah tangga, keluarga atau individu yang tidak memiliki Dhamma
(Ajaran Buddha), yang tidak memiliki keluhuran moral untuk melindungi
dan melatih hati, pasti selalu bermasalah dan gelisah, sama sekali tidak
pernah merasa sejahtera dan tenang—seimbang. Pertengkaran cenderung
merebak dalam keluarga itu, di antara suami dan isteri, kemudian keluar
ke dalam masyarakat -- kelingkungan dan bahkan tempat kerja."
Atas dasar uraian tersebut di atas serta banyaknya kasus konflik
suami-isteri yang timbul karena perbedaan agama, maka dapat kita
prediksikan bahwa pasangan suami-isteri yang berlainan agama akan banyak
menemui hambatan dan masalah dalam mengarungi kehidupan berkeluarga
mereka bila dibandingkan dengan mereka yang
mempuyai keyakinan yang sama (Samma Saddha).
Di samping itu, pasangan suami-isteri yang berlainan agama akan sulit
tetap bersama-sama pada kehidupan mereka yang akan datang.
Fin
Sumber: Penerbit Buddhis Milinda