Sayang Ayolah Sesekali Mendaki Gunung Denganku. Aku Ingin Menikmati Indahnya Puncak Bersamamu.
Selamat malam sayang,
Sudah kelima, mungkin keenam akhir pekan berjalan, tidak kuperbolehkan kamu menyambangi rumahku. Maaf, bukan karena ayahku yang galak – atau hari itu giliran selingkuhanku yang menghampiri (percayalah aku tidak punya selingkuhan!), tapi kali ini aku harus pergi mendaki lagi.
Hal inilah yang terkadang lucu bagiku. Aku tertarik padamu bukan karena kamu suka mendaki gunung sepertiku, tapi justru karena kamu yang tidak pernah mendaki. Kamu anak rumahan, introvert garis keras, lebih senang tenggelam di buku sastra lamamu atau menonton serial kriminal kesukaanmu.
Entah mengapa kamu begitu sabar dengan kegemaranku. Melarangku tak pernah, bahkan tidak pernah cemburu terhadap alam yang selalu lebih menarik perhatianku dibandingkan (maaf ya) kamu. Tapi, tahukah kamu sayang?
Maaf jika sering membuatmu khawatir saat aku mendaki. Tapi kesabaranmu saat menungguku turun, membuatku ingin mengajakmu mendaki gunung bersama-sama.
Kesabaranmu membuatku semakin ingin memperkenalkanmu pada alam. Kamu begitu sabar mendengarkan pengalamanku saat kamu menjemputku di stasiun kereta Senen, atau terminal bus Kampung Rambutan yang sesak dan rawan pencopet itu. Kekhawatiranmu padaku yang besar mampu kamu sembunyikan, karena kamu tahu, aku akan kesal sekali jika kamu terlalu mengkhawatirkanku.
Tapi aku juga memperhatikanmu, begitu mulianya kamu memperlakukan aku, kekasihmu yang pendaki dan kamu si anak rumahan. Menjemputku agar berangkat bersama menuju stasiun atau terminal tempatku berangkat – oh iya, ke bandara juga sesekali, saat menuju Lombok, karena sekali-kalinya kamu begitu keras tidak ingin aku menempuh perjalanan 2 hari lebih untuk ke sana, dan memohon agar menggunakan pesawat saja (sekali – kalinya kamu setegas itu, buatku segan).
Kamu juga membantu mengepak bawaanku ke dalam keril 60 L, kamu tahu kadang aku menahan diri agar tidak terlalu keras menjaga gengsi, maka aku memperbolehkanmu mengepak barang-barangku. Kadang aku menantangmu untuk membawa kerilku lalu berjalan keliling komplek rumahku, agar kamu tahu rasanya berjalan membawa barang bawaan seberat itu, tapi kamu tahu kan, Sayang? Medannya tidak semudah komplek rumahku.
Sebagai pengalaman pertama, aku akan mengajakmu ke gunung yang medannya tidak terlalu berat. Seperti Gunung Papandayan atau Gunung Gede, mungkin?
Sesekali Sayang, ikutlah mendaki gunung bersamaku. Akan kuajak dirimu ke gunung yang tidak terlalu berat medannya dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mendaki. Kita bisa ke gunung Papandayan, kita hanya naik bus dari Pasar Rebo lalu lanjut naik angkot yang kita sewa bersama-sama dengan pendaki lain.
Atau ke Gunung Gede saja — nggak perlu sampai ke Pangrango? Kita bisa naik bus juga dari Pasar Rebo lalu lanjut naik angkot kuning dan berjalan menuju pos pendaftarannya. Tenang saja, aku akan membantumu mengepak barang-barangmu. Percayalah, kita tidak perlu bawaan berat agar bisa ke sana.
Ikutlah sesekali mendaki ke atas sana bersamaku, Sayang. Aku ingin merasakan lelah dan bersujud syukur bersamamu melihat lukisan-Nya.
Kamu akan belajar banyak saat mendaki nanti, Sayang. Kamu akan tahu caranya menahan egomu. Tidak berjalan sendirian dan bersabar menunggu temanmu, dan tidak akan meninggalkan temanmu yang kesakitan kakinya. Kamu akan tahu betapa indahnya kesabaran, karena di balik lelahmu nanti akan ada lukisan Tuhan yang membuatmu bersujud syukur atas ciptaan-Nya.
Kamu juga akan menemui begitu banyaknya orang ramah di atas sana, yang menyemangatimu saat berpapasan denganmu walau tidak kenal. Mereka akan selalu melempar senyum dan menyapamu, bahkan beberapa kali kutemukan mereka mengundangmu ke tendanya untuk sekadar minum wedang atau teh bersama. Aku ingin kamu juga merasakan ini semua, tidak hanya aku.
Kamu jangan cemburu juga ya! Saat kamu melihat begitu banyak pendaki yang ramah padaku, karena sejatinya saat di atas sana, kita semua bagai saudara. Keramahan mereka adalah perihal bantu-membantu, dan bukan masalah apakah kita kenal atau tidak.
Maka, ikutlah denganku sesekali. Jangan hanya menunggu saja di rumahmu dan menunggu kabar dariku kapan harus menjemput atau saat aku sudah sampai rumah. Kamu akan tahu rasanya saat kehilangan sinyal di atas sana, karena itulah sabar adalah cara orangtua di rumah menanti kabarku. Kamu akan merasakan bagaimana mudahnya kita melepaskan gadget yang selalu ada di genggaman tangan (selain tangan kamu tentunya) hanya sekadar membawa kayu untuk berpijak atau menggandeng tanganmu saat mendaki.
Ayo, Ikutlah denganku! Tak usah khawatir atas minimnya pengalamanmu. Kamu tak sendiri, akan ada aku dan juga pendaki lain yang juga sama-sama sedang berjuang menuju puncak.
Kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Banyak di atas sana yang juga baru pertama kali sepertimu, dan kami tidak akan pernah membeda-bedakan siapapun yang baru pertama, malahan kami akan memberikan semangat pada kalian yang baru pertama.
Kamu akan menemukan bermacam-macam orang di atas sana, dan lucunya yang pengalamannya sudah ratusan kali mendaki malah yang paling terlihat rendah hati. Kamu akan mudah mengenalinya nanti.
Kalau kamu mau ikut mendaki bersamaku, minggu depan aku mungkin tidak akan sendiri lagi. Tidak seperti minggu-minggu lalu, kamu bukan hanya mengantarkanku ke terminal, pelabuhan atau stasiun terdekat, namun kamu akan turut bersamaku ke pendakian pertamamu nanti.
Nggak perlu bawa uang banyak-banyak ya — apalagi bawa kartu kredit atau debit. Di sana, kita tidak akan keluar uang banyak kok, palingan kita akan belanja buat masak-masak nanti di puncak sana. Apalagi kamu memang lebih jago masak dari aku, jadi aku akan membiarkanmu yang masak nanti. Aku selalu kepayahan membuat nasi di atas gunung, biasanya aku serahkan urusan menanak nasi ke teman seperjalananku yang lain.
Gimana? Kamu nggak sabar untuk pendakian pertamamu minggu depan denganku ‘kan? Ayolah, kumohon ikutlah mendaki denganku ya!
Kredit gambar andalan: www.blogs.itb.ac.id